◆ Latar Belakang Inpres 1/2025 dan Pemangkasan Anggaran Daerah
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 menyalakan api perdebatan besar dalam politik nasional. Perintah ini memandatkan pemangkasan anggaran negara dan daerah sebesar Rp306,7 triliun dengan alasan efisiensi fiskal dan pengendalian defisit. Pemerintah pusat menegaskan bahwa langkah ini penting demi stabilitas ekonomi jangka panjang, terutama untuk menjaga rasio utang negara tetap terkendali. Namun, di balik alasan teknis fiskal itu, banyak pihak melihat kebijakan ini sebagai bentuk re-centralisasi anggaran yang merugikan daerah.
Bagi pemerintah pusat, pemangkasan ini dianggap wajar. Anggaran dialihkan ke program-program strategis nasional seperti stabilitas pangan, bantuan makan gratis, serta pembangunan infrastruktur prioritas. Tapi, bagi pemerintah daerah, keputusan ini justru memotong ruang gerak. Banyak daerah yang sudah menyusun rencana pembangunan jangka menengah mendadak harus melakukan revisi besar-besaran. Dampaknya langsung terasa, dari tertundanya proyek infrastruktur dasar, berkurangnya dana pendidikan, hingga ancaman pada layanan kesehatan masyarakat.
Warga pun ikut terkena dampak domino. Karena dana transfer dari pusat berkurang, pemerintah daerah mencari cara lain untuk menambal defisit. Jalan tercepat: menaikkan pajak daerah. Kenaikan ini meliputi pajak properti, retribusi usaha, hingga biaya layanan publik. Tak heran jika kemudian lahir demo tolak pemangkasan anggaran dan kenaikan pajak di berbagai daerah, yang menjadi simbol keresahan rakyat atas kebijakan fiskal yang dirasa tidak adil.
◆ Gelombang Demonstrasi di Daerah: Reaksi terhadap Anggaran & Pajak
Gelombang protes mulai terlihat di sejumlah kota sejak awal Agustus 2025. Di Jawa Tengah, ribuan warga mendatangi kantor bupati, menuntut pembatalan kenaikan pajak yang mencapai 400–1.000%. Para pedagang kecil menutup kios mereka sebagai bentuk solidaritas. Di Jawa Timur, mahasiswa melakukan aksi long march dari kampus menuju kantor gubernur, membawa spanduk bertuliskan “Otonomi Daerah Mati, Pajak Naik Tak Terkendali.” Dari barisan mahasiswa inilah, istilah demo tolak pemangkasan anggaran dan kenaikan pajak semakin populer di media sosial.
Tak hanya di Jawa, Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan juga bergolak. Di Medan, ribuan orang turun ke jalan menolak kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang disebut-sebut mencapai empat kali lipat. Di Makassar, nelayan memblokir akses pelabuhan sebagai bentuk protes terhadap retribusi baru yang dianggap membebani. Bahkan di Papua, para tokoh adat menyatakan sikap menolak kebijakan ini karena mengancam program pendidikan gratis yang sudah berjalan.
Media massa memainkan peran besar dalam membesarkan isu ini. Setiap hari, tayangan televisi memperlihatkan massa yang berbondong-bondong turun ke jalan. Media online pun menjadikan demo tolak pemangkasan anggaran dan kenaikan pajak sebagai headline. Tak lama, hashtag #TolakPBB dan #SelamatkanOtonomiDaerah mendominasi lini masa Twitter. Protes lokal menjelma menjadi isu nasional, mengundang perhatian politisi, akademisi, hingga masyarakat internasional.
◆ Dinamika Politik dan Otonomi Daerah
Secara politik, Inpres 1/2025 membuka babak baru dalam perdebatan antara pusat dan daerah. Otonomi daerah, yang sejak reformasi 1998 dianggap sebagai pilar demokrasi Indonesia, kini dirasakan makin terkikis. Pemangkasan anggaran dianggap bertentangan dengan semangat desentralisasi, di mana daerah semestinya diberi keleluasaan untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri.
Banyak kepala daerah mengaku berada di posisi serba salah. Jika mereka mengikuti kebijakan pusat, mereka harus memangkas program daerah yang vital bagi rakyat. Jika tidak, mereka terancam dicap melawan instruksi presiden. Situasi ini memicu ketegangan politik di tingkat lokal. DPRD di sejumlah daerah bahkan secara resmi mengeluarkan rekomendasi menolak kebijakan ini. Namun, suara mereka sering kali terhenti karena tekanan politik dari atas.
Krisis politik ini juga mengguncang kepercayaan rakyat. Mereka melihat pemerintah daerah seperti kehilangan wibawa dan hanya menjadi perpanjangan tangan pusat. Rasa frustasi itu melahirkan demo tolak pemangkasan anggaran dan kenaikan pajak sebagai ekspresi penolakan terhadap sentralisasi yang dianggap mengebiri demokrasi lokal. Bagi sebagian pengamat, inilah tanda bahwa hubungan pusat-daerah sedang memasuki fase krisis baru.
◆ Dampak Sosial dan Respons Pemerintah
Dampak sosial dari kebijakan ini sangat nyata. Harga kebutuhan pokok naik karena beban pajak yang makin besar. Banyak pelaku UMKM mengeluh sulit berkembang karena biaya izin dan retribusi meningkat. Petani pun terdampak, sebab pajak lahan yang tinggi membuat keuntungan mereka makin tipis. Semua ini memperkuat legitimasi demo tolak pemangkasan anggaran dan kenaikan pajak sebagai suara kolektif rakyat kecil.
Respons pemerintah pusat sendiri masih kaku. Presiden menegaskan bahwa pemangkasan anggaran harus tetap dijalankan demi disiplin fiskal. Ia menambahkan bahwa program makan gratis untuk anak sekolah dan subsidi bahan pokok adalah bentuk kompensasi yang lebih penting dibanding dana transfer daerah. Namun, jawaban ini tidak banyak meredakan kemarahan publik. Warga menilai kompensasi tersebut hanya solusi jangka pendek yang tidak menyelesaikan akar masalah.
Tekanan politik semakin besar ketika parlemen mulai membicarakan opsi untuk merevisi atau bahkan mencabut Inpres 1/2025. Sejumlah anggota DPR berpendapat bahwa pemerintah pusat harus membuka ruang dialog dengan daerah. Tanpa itu, demo tolak pemangkasan anggaran dan kenaikan pajak akan terus membesar dan berpotensi menjadi krisis nasional.
◆ Refleksi Politik dan Implikasinya ke Depan
Peristiwa ini membawa banyak pelajaran bagi pemerintah. Pertama, kebijakan fiskal yang menyangkut hajat hidup rakyat tidak bisa diambil sepihak. Keterlibatan publik dan pemerintah daerah mutlak diperlukan. Kedua, efisiensi anggaran tidak boleh mengorbankan otonomi daerah yang merupakan fondasi demokrasi pasca-reformasi. Ketiga, komunikasi politik menjadi kunci: tanpa komunikasi yang jelas, kebijakan sebesar Inpres 1/2025 hanya akan melahirkan resistensi.
Bagi rakyat, demo tolak pemangkasan anggaran dan kenaikan pajak adalah bukti nyata bahwa suara mereka masih bisa memengaruhi kebijakan negara. Meski dihadapkan pada aparat keamanan dan tekanan politik, keberanian warga turun ke jalan menunjukkan bahwa demokrasi masih hidup. Dari perspektif jangka panjang, aksi ini bisa menjadi momentum untuk memperkuat partisipasi politik warga di tingkat lokal maupun nasional.
Jika pemerintah gagal merespons dengan bijak, potensi krisis kepercayaan semakin besar. Bukan tidak mungkin, protes yang berawal dari isu fiskal akan meluas menjadi isu politik yang lebih dalam, seperti tuntutan reformasi pemerintahan atau perubahan kebijakan besar-besaran. Karena itu, Inpres 1/2025 dan demo tolak pemangkasan anggaran dan kenaikan pajak akan tercatat sebagai titik krusial dalam sejarah politik Indonesia modern.
◆ Kesimpulan
Rangkaian demo tolak pemangkasan anggaran dan kenaikan pajak pada 2025 menjadi alarm keras bagi pemerintah. Kebijakan yang lahir dari ruang pusat tidak bisa begitu saja dipaksakan ke daerah tanpa dialog. Pemangkasan anggaran dan kenaikan pajak telah melukai kepercayaan rakyat, memperburuk kondisi ekonomi masyarakat, dan mengguncang fondasi otonomi daerah.
Pelajaran penting yang bisa dipetik: demokrasi hanya bisa berjalan sehat jika ada komunikasi, transparansi, dan partisipasi publik. Pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan fiskal tidak hanya efisien, tetapi juga adil dan berkeadilan sosial. Tanpa itu, suara rakyat akan terus menggema melalui jalanan, menegaskan bahwa mereka bukan sekadar objek kebijakan, tetapi subjek utama dalam perjalanan demokrasi bangsa.